Jumat, 04 Desember 2015

PRESS RELEASE “PERDA Gepeng Membunuh Kami”

PRESS RELEASE
“PERDA Gepeng Membunuh Kami”


November hingga Desember 2015 – Kaukus untuk Perda Gepeng melakukan refleksi gerakan melalui momentum; Transgender Day of Remembrance (TDoR), 28 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP++), Hari AIDS Sedunia (HAS), Hari Difabel, Peringatan Hak Asasi Manusia, dan Hari Anti Kekerasan Terhadap Pekerja Seks, kami menemukan Perda DIY nomor 1 tahun 2014 mencederai serangkaian perjuangan yang diupayakan selama ini. Sebuah kebijakan yang diskriminatif dan mengkriminalkan kelompok - kelompok yang dimarginalkan; perempuan, anak, transgender, lansia, penyandang difabel, dan orang - orang yang hidup di situasi jalanan.

Substansi Perda DIY No. 1 Tahun 2014 yang seharusnya menjadi penanganan gelandangan dan pengemis, dan menjadi solusi untuk persoalan di jalanan ternyata justru menjadi instrumen peraturan daerah yang mencerminkan diskriminasi dan kekerasan negara. Kemudian diantaranya mencerminkan kebijakan kriminalisasi oleh Negara dan pelanggaran HAM terhadap gelandangan dan pengemis (gepeng).

Diawali dengan kriteria tentang gelandangan dan pengemis sebagai subjek tidak diatur jelas pada Perda DIY No. 1 Tahun 2014. Pada pasal 5 poin d tentang kriteria gelandangan tidak punya tolak ukur yang jelas. Dilanjutkan pada pasal 6 poin b dan c tentang kriteria pengemis yang terlalu subjektif. Adapun ketentuan pidana pada pasal 21 dan pasal 22 jo. Pasal 24 dengan pendekatan penal yang bersifat represif sebagai dasar hukum untuk menindak dengan menghukum secara pidana terhadap keberadaan gepeng, bahkan terhadap orang lain (masyarakat luas) yang berhubungan (membantu). Hal tersebut mengindikasikan bentuk kriminalisasi pada penanganan gepeng di DIY. Lalu yang menjadi pertanyaan ; nilai apa yang dilanggar oleh gepeng sehingga pemerintah berhak untuk memberikan stigma negatif dan mengkriminalisasikannya?

Dari Substansi Perda DIY No 1 Tahun 2014 yang tidak jelas, berdampak sistemik kepada implementasi yang diskriminatif, kriminalisasi oleh negara terhadap berbagai perbuatan yang terkait dengan keberadaan gelandangan dan pengemis(gepeng), pemiskinan, stigma buruk kepada gepeng.

Jaringan Kaukus untuk Perda Gepeng melakukan pengumpulan data kasus kekerasan pada impementasi Perda Gepeng No 1 Tahun 2014,  sejak Bulan 21 September hingga 24 November 2015 terhadap orang-orang yang ditangkap dan ditahan di camp assessment. Kaukus menemukan 23 orang yang teridentifikasi mengalami pelanggaran HAM dan kekerasan. Pertama, tentang penangkapan yang sewenang wenang. Kedua, tentang proses penahanan di camp assessment yang tidak jelas dan diskriminatif. Ketiga, proses pelayanan di camp assessment yang tidak layak dan tidak manusiawi. Keempat, prosedur dan proses pembebasan juga tidak jelas. Kelima, penahanan berdampak pada kerugian ekonomi yang signifikan. (Data lebih lanjut terlampir).

Pada Bulan April 2014, Kaukus untuk Perda Gepeng telah mengajukan permohonan audiensi kepada DPRD DIY, tetapi hingga bulan November 2015 ini tidak ada respon yang baik dari pihak DPRD DIY. Mengingat urgensi dari kasus-kasus yang terjadi akibat dampak dari Perda DIY No 1 tahun 2014 perlu adanya respon yang secepat-cepatnya.“Aksi lanjutan ini menuntut dan mendesak DPRD DIY untuk memberikan kepastian kapan akan diadakan audiensi mengenai temuan dan hasil evaluasi yang dilakukan jaringan kaukus untuk Perda Gepeng. Selain itu menuntut DPRD DIY untuk melakukan review implementasi Perda DIY No. 1 Tahun 2014. Kami menemukan pelanggaran HAM, hal ini menjadi catatan penting dalam implementasi perda,” terang Gandar, Koordinator Kaukus untuk Perda Gepeng.

KAUKUS PERDA GEPENG menyatakan sikap:

  1. Kami menolak substansi Perda No 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) yang merepresentasikan stigma, kriminalisasi, diskriminasi, dan pelanggaran HAM.
  2. Kami mengecam keras tindak kekerasan yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam implementasi Perda Gepeng, diantaranya kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan sosial,  penangkapan sewenang-wenang -termasuk salah tangkap-, perlakuan tidak manusiawi dan pengabaian di camp assessment, pemaksaan ekspresi gender, serta tindakan-tindakan lain yang tidak menunjukkan penghormatan terhadap HAM.
  3. Perda No 1 Tahun 2014 ini merupakan kegagalan Pemerintah DIY dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, budaya, hak sipil dan politik warga dalam bentuk kriminalisasi.
  4. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tidak seharusnya mendefinisikan gelandangan, pengemis, waria sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial yang pantas disingkirkan.
Kami akan terus mengawal dan menggunakan hak untuk menyampaikan aspirasi dan mempertanyakan kebijakan –kebijakan negara yang tidak berkeadilan.


Temuan Data dan Observasi

Pelanggaran-Pelanggaran Pada Implementasi Peraturan Daerah Provinsi DI Yogyakarta No 1 Tahun 2014 Tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng). Jaringan Kaukus untuk Perda Gepeng melakukan pengumpulan data kasus kekerasan pada impementasi Perda Gepeng No 1 Tahun 2014, sejak 21 September hingga 24 November 2015 terhadap orang-orang yang ditangkap dan ditahan di camp assessment. Kaukus menemui 23 orang yang ditangkap dan ditahan di camp assessment. Berikut uraian temuan di lapangan:
  1. Proses penangkapan yang sewenang-wenang. Sebanyak 23 orang mengalami penangkapan sewenang-wenang dan ditahan di camp assessment tanpa proses hukum yang jelas. Di dalam proses penangkapan, hampir semua korban mengalami kekerasan verbal, antara lain dihina dan dikata-katai tidak pantas. Sebanyak dua orang mengalami kekerasan fisik saat proses penangkapan, yaitu penyeretan hingga terjatuh dan terluka.
  2. Proses penahanan di camp assessment yang tanpa penjelasan dan kejelasan. Sebanyak 20 orang ditahan di ruang assessment tanpa penjelasan dan informasi hak. Korban juga mengalami pembiaran. Pada tahap observasi (ruang observasi), anak-anak, orang dewasa dan gelandangan psikotik dicampur di dalam satu ruangan.
  3. Proses pelayanan di camp assessment yang tidak layak dan tidak manusiawi. Fasilitas camp assessment tidak layak. Air berwarna cokelat, berbau besi (karat) dan kotor, fasilitas kebersihan sanitasi tidak terawat dan sangat kotor. Jumlah pekerja sosial yang mendampingi tidak mencukupi – perbandingan pekerja sosial dengan klien adalah 1:10, dengan situasi pekerja sosial tidak selalu berada di lokasi atau tidak bisa dihubungi sewaktu-waktu.
  4. Makanan tidak memenuhi gizi dan penjadwalan yang jelas, ditemukan menu hanya nasi dan tempe saja. Penghuni camp tidak menerima kegiatan atau pelatihan, hanya didiamkan tanpa penanganan. Menurut catatan kami, camp assessment juga tidak mampu memenuhi kebutuhan khusus seperti kebutuhan khusus perempuan (temuan: dua orang perempuan tidak mendapatkan pembalut saat mereka sedang menstruasi di camp), kebutuhan ODHA, dan kebutuhan anak dan penyandang disabilitas. Selain itu, tidak ada pengawasan yang baik kepada penghuni psikotik di camp. Menurut laporan di lapangan, satu orang gelandangan psikotik (gangguan jiwa) meninggal karena kelaparan.
  5. Prosedur dan proses pembebasan tidak jelas. Orang-orang yang ditangkap tidak mendapatkan kejelasan informasi kapan akan dibebaskan dan bagaimana prosedur pembebasannya.
  6. Kerugian ekonomi selama dan pasca penahanan. Sample diambil dari wawancara mendalam dengan DM yang bekerja sebagai pelayan di lesehan Jl. Malioboro. DM dalam satu bulan berpenghasilan Rp 700.000,00. DM mengalami penahanan selama 18 hari di Camp Asessment, sehingga harus meninggalkan kegiatan produktifnya. Selama penahanan, DM mengalami kerugian sekitar Rp 420.000,00. Nilai kerugian ini mungkin kecil jika dibandingkan dengan UMR di Yogyakarta, namun nilai ekonominya menjadi sangat tinggi untuk DM. Situasi ini menjadi semakin parah karena pasca penahanan, DM tidak bisa bekerja di tempatnya semula, sehingga kerugian ekonominya berlipat ganda. Sample berikutnya adalah IM, seorang waria yang bekerja mengamen dan berjualan keripik berpenghasilan rata-rata Rp 1.500.000,00 setiap bulan. IM ditahan selama 5 hari di camp assessment dan tidak dapat melakukan kegiatan produktif. IM mengalami kerugian Rp 250.000,00 dan kehilangan pelanggan dari usaha keripik. Nilai kerugian ekonomi menjadi berlipat ganda karena IM kesulitan melanjutkan usaha penjualan keripik.

ANALISIS HUKUM PERDA DIY NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS (GEPENG)

Kriteria tentang gelandangan dan pengemis sebagai subjek tidak diatur jelas pada Perda DIY No. 1 Tahun 2014 di pasal 5 dan pasal 6. Pasal 5 poin d menyatakan bahwa yang termasuk kategori gelandangan adalah mereka yang tidak memiliki rencana hari depan bagi anak-anak maupun dirinya. Dari uraian pasal tersebut, kriteria gelandangan sangat abstrak, karena tidak memiliki tolok ukur yang jelas. Kemudian pasal 6 poin b yang menjelaskan tentang cara “berpakaian yang kumuh, compang-camping dan tidak sewajarnya” dan poin c “berada di tempat-tempat umum”. Dari uraian pasal tersebut, kriteria pengemis tidak definitif karena bisa ditujukan kepada banyak orang di tempat umum. Tidak semua orang yang berpakaian kumuh dan compang-camping adalah pengemis. Dan bagaimana melihat yang compang camping tersebut, tidak ada ukuran. Begitu juga dengan kriteria “tidak sewajarnya” yang terlalu subjektif karena tidak ada indikator mana yang wajar dan tidak wajar
Ketentuan Pasal 21 dan Pasal 22 jo. Pasal 24 Perda DIY No. 1 tahun 2014 dapat dikatakan sebagai suatu Kebijakan Kriminalisasi, karena hakekat KRIMINALISASI adalah:
  1. Perspektif Kebijakan. Kriminalisasi adalah proses penetapan oleh penguasa (negara) melalui undang-undang pidana terhadap suatu perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan terlarang menjadi perbuatan terlarang dan dapat dikenai ancaman pidana.
  2. Perspektif Nilai. Kriminalisasi adalah proses perubahan nilai yang menyebabkan suatu perbuatan yang semula tidak dipandang sebagai hal tercela dan tidak diancam pidana menjadi perbuatan yang tercela serta dapat dikenai ancaman pidana.

Dua pengertian kriminalisasi inilah yang menjadi alasan keberatan dalam penerapan Perda gepeng di DIY. Hal ini disebabkan karena akan memunculkan setidaknya dua pertanyaan:
Apa dasar Justifikasi yang dimiliki penguasa sehingga dapat dibenarkan melakukan tindakan kriminalisai terhadap suatu perbuatan? Pertanyaan ini muncul karena hakekatnya kriminalisasi akan selalu bermuara pada tindakan pemindanaan oleh negara. Padahal, tindakan pemidanaan hakekatnya adalah tindakan perampasan hak-hak tertentu dari orang yang dipidana.  

Lalu hak apa yang dirampas oleh gepeng sehingga harus dikriminalisasikan? Apakah dalam mengkriminalisasikan perbuatan tersebut, negara telah benar-benar berpegang pada prinsip-prinsip kebijakan kriminalisasi yang memang seharusnya diperhatikan? Pada poin ini sangat penting mengingat kriminalisasi sebagai suatu langkah/kebijakan negara yang semestinya mengacu pada prinsip-prinsip sebuah kebijakan. Seperti kebijakan itu harus rasional, berbasis pada analisis fungsional (aplicable dan efektif), people oriented, ada pertimbangan cost and benefit principle dll. Di samping itu, dalam perspektif nilai, kebijakan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan juga harus didasarkan pada penilaian bahwa perbuatan itu secara nilai moral yang hidup dan berkembang dalam masyarakat memang benar-benar tercela dan layak dilarang dengan ancaman sanksi pidana.

Berikut adalah catatan analisis mengenai Perda DIY No. 1 Tahun 2014 yang melatarbelakangi alasan mengapa Perda tersebut harus ditinjau kembali:

Karena subjek dari Perda DIY No.1 tahun 2014 tidak jelas, hal ini berpengaruh pada implementasinya yang menimbulkan salah tangkap. Mereka yang bukan gelandangan dan pengemis juga ditangkap oleh Satpol PP karena teridentifikasi sebagai gelandangan atau pengemis. Proses penangkapan sewenang-wenang dan disertai dengan kekerasan. Korban salah tangkap ditahan dan diperlakukan secara tidak manusiawi di camp assessment yang tidak layak huni.

Kebijakan kriminalisasi dalam Perda ini memperlihatkan adanya generalisasi pelarangan menjadi gepeng dalam segala bentuk dan cara apapun. Karena itu, kebijakan seperti ini perlu ditinjau ulang. Kebijakan yang demikian tidak tepat terutama bagi gepeng yang memang benar-benar miskin dan terlantar. Terentasnya mereka dari kehidupan sebagai gepeng justru merupakan hak mereka yang semestinya menjadi tanggung jawab dan kewajiban Negara dan bukan malah mengkriminalisasikannya.

Kewajiban negara tersebut ditegaskan dalam Pasal 34 (1) UUD 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Kewajiban konstitusional ini mengingat secara konseptual, negara memang memiliki 4 kewajiban dasar terkait hak-hak warganya yakni to respect, to protect, to fulfil, and to promote. Di dalam KUHP pasal 504-505 telah dengan tegas dide-kriminalisasi sehingga kebijakan ini bertentangan dengan prinsip bahwa suatu kriminalisasi harus ditempatkan dalam kerangka Tujuan Umum Pembangunan Nasional yakni untuk kesejahteraan masyarakat apalagi masyarakat marginal.

Dalam perspektif penalisasi (kebijakan tentang penetapan ancaman pidana), ketentuan Pasal 24 Perda DIY ini perlu dikaji ulang. Perbuatan menggelandang dan mengemis sebagai delik/tindak pidana ringan bahkan sangat ringan diancam dengan sanksi pidana berupa kurungan hingga 6 minggu sampai 3 bulan. Hal ini dipandang tidak mempertimbangkan salah satu prinsip penalisasi yaitu harus ada keseimbangan antara tingkat seriusitas suatu tindak pidana dengan berat ringannya sanksi pidana yang patut diancamkan dan jenis sanksi pidana yang hendak ditetapkan.

Dalam praktiknya, terpidana kurungan kenyataannya akan dimasukkan juga ke penjara (Lembaga Pemasyarakatan) dengan pola penanganan dan “pembinaan” yang dicampur dan disamakan dengan terpidana penjara yang memiliki latar belakang dan tingkat kejahatan yang sangat beragam. Kebijakan pemidanaan yang seperti ini dapat dimaknai sebagai kurangnya perhatian terhadap konsep tujuan pemidanaan dan dampak pemidanaan kurungan/penjara itu sendiri.

Begitu pula dengan kebijakan pengancamana sanksi pidana untuk para gepeng yang dalam Perda No. 1 tahun 2014 ini mencapai 10 juta bahkan 20 juta. Kebijakan demikian secara konseptual dapat dipandang mengabaikan prinsip kebijakan yang rasional dan efektif aplicable. Sebab secara logika seorang pengemis yang sungguh benar-benar miskin sulit untuk mampu membayar denda sebesar itu. Jika demikian maka hakim pasti akan menjatuhkan pidana kurungan sebagai ganti atas pidana denda yang tidak mampu dibayar terpidana tanpa memikirkan efek prisonisasi.

Kebijakan mengkriminalisasikan perbuatan masyarakat luas hanya karena untuk membantu gepeng dengan memberikan uang atau suatu barang apapuan dengan ancaman pidana kurungan hingga 10 hari atau denda mencapai 1 juta perlu ditiinjau ulang. Karena kebijakan seperti ini bertentangan dengan prinsip nilai/ajaran agama tentang perintah shodaqoh sebagai suatu perilaku mulia dan bukan tercela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar