Pada awal tahun 2014, DPRD Yogyakarta telah mengetok palu lahirnya peraturan daerah mengenai penanganan gelandangan dan pengemis.
Jika kita membaca pasal-pasal dalam Perda ini ada beberapa kejanggalan yang ditemui. Pada pasal 1 misal, terdapat upaya yang sifatnya koersif dalam upaya melindungi dan memberdayakan gelandangan dan pengemis. Koersif bersifat memaksa, apakah hal tersebut bisa diterima dari sisi kemanusiaan? Hal tersebut juga bertentangan dengan pasal 2 mengenai asas yang salah satunya adalah non-kekerasan.
Pasal tentang pemidanaannya pun bisa dinilai tidak realistis bagi gelandangan pengemis. Di dalam pasal 24 tentang pemidanaan dicantumkan beberapa poin tentang jenis pelanggaran dan hukuman yang akan diterima[2]. Denda yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis yang melanggar, jauh dari jangkauan mereka. Pasal pemidanaan tersebut juga memakai kata dan/atau dimana bisa dipahami bahwa orang yang melanggar bisa mendapat kedua hukuman yaitu penjara kurungan maupun denda secara bersamaan. Hal tersebut adalah bentuk diskriminasi dalam peraturan perundang undangan terhadap kalangan gelandang dan pengemis, karena mempermainkan nasib mereka bahkan dapat menghukum mereka seberat beratnya tanpa mempertimbangkan keadilan sosial.
Di dalam skema Perda Penanganan Gelandangan dan Pengemis, pemerintah akan melakukan penjangkauan, merespon laporan dari masyarakat atau langsung melakukan penertiban secara langsung (razia). Setelah itu gelandangan dan pengemis akan dibawa ke camp assessment untuk dilakukan observasi. Ada beberapa jenis gelandangan dan pengemis dari Perda tersebut, gelandangan, gelandangan psikotik dan pengemis. Setelah dilakukan observasi akan dilakukan beberapa penanganan seperti pembinaan fisik, mental, dan perilaku bagi gelendangan dan pengemis non psikotik. Bagi gelandangan psikotik akan dirujuk ke rumah sakit jiwa sedangkan bagi anak jalanan akan dibawa ke rumah perlindungan sosial.
Fakta dilapangan, kami menemukan beberapa kekerasan yang menimpa komunitas – komunitas jalanan yang terpapar kebijakan ini; komunitas waria dan komunitas pengamen. Kekerasan – kekerasan yang diterima oleh komunitas tersebut bergulir dari proses penangkapan yang sarat dengan kekerasan, seperti misalnya menggeret hingga terjadi luka – luka, menjambak dan lain sebagainya. Kekerasan tersebut berlanjut di camp assesment, beberapa orang komunitas yang mengalami penangkapan dan dimasukan ke camp tersebut mendapatkan banyak perlakuan yang tidak nyaman; pelecehan sexual, pembiaran yang cukup membuat mereka tidak nyaman ( mereka tidak segera memperoleh assesment yang mereka butuhkan, namun harus menunggu secara berkelamaan yang menimbulkan ketidaknyamanan dan frustrasi).
Perda ini memberi ruang Genosida secara perlahan terhadap komunitas - komunitas yang menjadi sasaran dari perda ini karena sejauh ini upaya yang dilakukan oleh pemerintah sangat tidak manusiawi.
[1] Dikutip dari laman resmi Dinas Sosial DIY http://dinsos.jogjaprov.go.id/2015-jogja-bebas-gepeng/ (9 Desember 2014)
[2](1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pergelandangan dan/atau Pengemisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 6 (enam) minggu dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pergelandangan dan Pengemisan secara berkelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 20.000.000,00 ( duapuluh juta rupiah).
(4) Setiap orang yang melanggar ketentuan mengajak, membujuk, membantu, menyuruh, memaksa, dan mengkoordinir orang lain secara perorangan atau berkelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)
Paraf Petisi:
https://www.change.org/p/dprd-diy-dinas-sosial-yogyakarta-sujanarko-revisi-perda-penanganan-gelandangan-dan-pengemis-no-1-tahun-2014
Unduh:
Perda Gelandangan dan Pengemis no 1 tahun 2014 Yogyakarta
Camp Asssement TIDAK MANUSIAWI!
Kawan-kawan, Perda Penanganan Gelandangan dan
Pengemis No 1 Tahun 2014 telah berlaku selama 1 Tahun. Mekanisme dalam
pelaksanaan Perda tersebut adalah melarang semua orang untuk mencari
penghidupan di jalan. Satpol PP dibantu dengan pihak terkait melakukan razia
untuk menertibkan. Ketika ada orang jalanan ditangkap, mereka lalu dibawa ke
camp assesment. Camp assesment adalah tempat yang diselenggarakan oleh dinas
sosial untuk dibina karakter dan wataknya. Namun alih-alih membina, camp
assesment justru menjadi tempat terjadinya pelanggaran hak asai manusia bagi
orang jalanan.
Fasilitas yang disediakan di camp assesment tidak
layak sama sekali. Penguni tidak bisa menggunakan air dengan baik karena air
tidak lancar dan itupun berwarna coklat. Orang jalanan yang ditangkap dengan
tangan kosong tidak sempat untuk membawa baju ganti dan alat mandi. Pemberian baju
dan alat mandi sangat minim. Bahkan ketika saya dan kawan-kawan jaringan datang
ke camp assesment, banyak orang jalanan yang memakai baju yang sama karena tidak
punya baju ganti. Makan 3 kali sehari jamnya tidak teratur. Itupun sangat
sedikit.
Karantina di ruang penangkapan awal tidak
manusiawi. Mereka mencampur antara gelandangan psikotik dengan yang lain. Bisa
jadi ada anak-anak jalanan yang tertangkap harus berkumpul dengan gelandangan
psikotik dan orang dewasa.
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh orang jalanan
di camp assesment. Menurut penuturan seorang kawan jalanan yang ditangkap, camp
assesment mengadakan kegiatan pengajian, seni dari ISI, dari polsek 3 kali
dalam seminggu, tetapi isinya sama semua doktrin, sehingga mereka malas
mendengarkan. Selain itu tidak ada komunikasi yang baik antara pendamping orang
jalanan di camp assesment. Hal itu membuat ketidakpastian terhadap masalah yang
mereka hadapi. Bahkan ketika saya berbicara dengan orang jalanan di camp
assesment, mereka tidak tahu kesalahan apa yang telah mereka perbuat.
Pekerja yang bekerja di camp assesment juga tidak
memiliki kualifikasi yang mumpuni. Mereka tidak memiliki pengetahuan terhadap isu
HAM dan orang termarjinalkan. Mereka juga tidak paham sekali jika berhadapan
dengan seorang ODHA (Orang Dengan HIV Aids). Satu kasus, seorang kawan ODHA
harus berhenti minum ARV karena tidak bisa mengakses obat tersebut.
Konfidensial ODHA juga sangat rentan karena pekerja camp assesment tidak tahu
mengenai hal ini. Per 8 april ada sekitar 163 orang jalanan dan 70 sekian orang
psikotik. Sedangkan pekerja sosial (peksos) atau pendamping hanya ada 12 orang dan
bertanggung jawab untuk mengawal minimal 5-20 orang. Bisa dibayangkan bagaimana
orang jalanan ditangani disana? Camp assesment memiliki klinik, ada 2 dokter
yang siap sedia dibantu dengan pegawai honorer setiap hari. Namun sayang klinik
itu tutup pada jam 1 siang.
Apakah kita akan tetap diam sementara orang
jalanan mendapatkan kekerasan setiap harinya di camp assesment? Mari kita tolak
Perda Penanganan dan Gelandangan No 1 tahun 2014 Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar