Perda Gepeng

“Perda ini sebagai awal dari tekad Yogyakarta tahun 2015 bebas Gelandangan dan Pengemis. Setuju?” Tanya Kadinsos (Drs. Untung Sukaryadi, MM)[1].

Pada awal tahun 2014, DPRD Yogyakarta telah mengetok palu lahirnya peraturan daerah mengenai penanganan gelandangan dan pengemis.

Jika kita membaca pasal-pasal dalam Perda ini ada beberapa kejanggalan yang ditemui. Pada pasal 1 misal, terdapat upaya yang sifatnya koersif dalam upaya melindungi dan memberdayakan gelandangan dan pengemis. Koersif bersifat memaksa, apakah hal tersebut bisa diterima dari sisi kemanusiaan? Hal tersebut juga bertentangan dengan pasal 2 mengenai asas yang salah satunya adalah non-kekerasan.

Pasal tentang pemidanaannya pun bisa dinilai tidak realistis bagi gelandangan pengemis. Di dalam pasal 24 tentang pemidanaan dicantumkan beberapa poin tentang jenis pelanggaran dan hukuman yang akan diterima[2]. Denda yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis yang melanggar, jauh dari jangkauan mereka. Pasal pemidanaan tersebut juga memakai kata dan/atau dimana bisa dipahami bahwa orang yang melanggar bisa mendapat kedua hukuman yaitu penjara kurungan maupun denda secara bersamaan. Hal tersebut adalah bentuk diskriminasi dalam peraturan perundang undangan terhadap kalangan gelandang dan pengemis, karena mempermainkan nasib mereka bahkan dapat menghukum mereka seberat beratnya tanpa mempertimbangkan keadilan sosial.

Di dalam skema Perda Penanganan Gelandangan dan Pengemis, pemerintah akan melakukan penjangkauan, merespon laporan dari masyarakat atau langsung melakukan penertiban secara langsung (razia). Setelah itu gelandangan dan pengemis akan dibawa ke camp assessment untuk dilakukan observasi. Ada beberapa jenis gelandangan dan pengemis dari Perda tersebut, gelandangan, gelandangan psikotik dan pengemis. Setelah dilakukan observasi akan dilakukan beberapa penanganan seperti pembinaan fisik, mental, dan perilaku bagi gelendangan dan pengemis non psikotik. Bagi gelandangan psikotik akan dirujuk ke rumah sakit jiwa sedangkan bagi anak jalanan akan dibawa ke rumah perlindungan sosial.
Fakta  dilapangan, kami  menemukan beberapa kekerasan yang  menimpa  komunitas – komunitas jalanan yang  terpapar  kebijakan  ini; komunitas  waria dan komunitas pengamen. Kekerasan – kekerasan yang  diterima oleh  komunitas  tersebut  bergulir dari  proses penangkapan yang sarat dengan kekerasan,  seperti misalnya  menggeret hingga  terjadi  luka – luka, menjambak dan lain sebagainya. Kekerasan tersebut  berlanjut  di  camp assesment, beberapa orang komunitas yang mengalami  penangkapan dan dimasukan ke  camp  tersebut mendapatkan banyak  perlakuan yang tidak  nyaman; pelecehan sexual, pembiaran yang cukup membuat mereka tidak nyaman ( mereka tidak  segera memperoleh assesment  yang  mereka butuhkan, namun harus  menunggu  secara  berkelamaan yang  menimbulkan ketidaknyamanan dan frustrasi).
Perda ini  memberi  ruang  Genosida secara  perlahan  terhadap  komunitas  - komunitas yang  menjadi  sasaran dari  perda  ini karena sejauh ini upaya yang dilakukan oleh pemerintah sangat tidak manusiawi.

[1] Dikutip dari laman resmi Dinas Sosial DIY http://dinsos.jogjaprov.go.id/2015-jogja-bebas-gepeng/ (9 Desember 2014)
[2](1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pergelandangan dan/atau Pengemisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 6 (enam) minggu dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pergelandangan dan Pengemisan secara berkelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 20.000.000,00 ( duapuluh juta rupiah).
(4) Setiap orang yang melanggar ketentuan mengajak, membujuk, membantu, menyuruh, memaksa, dan mengkoordinir orang lain secara perorangan atau berkelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)

Paraf Petisi:
https://www.change.org/p/dprd-diy-dinas-sosial-yogyakarta-sujanarko-revisi-perda-penanganan-gelandangan-dan-pengemis-no-1-tahun-2014

Unduh:
Perda Gelandangan dan Pengemis no 1 tahun 2014 Yogyakarta


Camp Asssement TIDAK MANUSIAWI!



Kawan-kawan, Perda Penanganan Gelandangan dan Pengemis No 1 Tahun 2014 telah berlaku selama 1 Tahun. Mekanisme dalam pelaksanaan Perda tersebut adalah melarang semua orang untuk mencari penghidupan di jalan. Satpol PP dibantu dengan pihak terkait melakukan razia untuk menertibkan. Ketika ada orang jalanan ditangkap, mereka lalu dibawa ke camp assesment. Camp assesment adalah tempat yang diselenggarakan oleh dinas sosial untuk dibina karakter dan wataknya. Namun alih-alih membina, camp assesment justru menjadi tempat terjadinya pelanggaran hak asai manusia bagi orang jalanan.

Fasilitas yang disediakan di camp assesment tidak layak sama sekali. Penguni tidak bisa menggunakan air dengan baik karena air tidak lancar dan itupun berwarna coklat. Orang jalanan yang ditangkap dengan tangan kosong tidak sempat untuk membawa baju ganti dan alat mandi. Pemberian baju dan alat mandi sangat minim. Bahkan ketika saya dan kawan-kawan jaringan datang ke camp assesment, banyak orang jalanan yang memakai baju yang sama karena tidak punya baju ganti. Makan 3 kali sehari jamnya tidak teratur. Itupun sangat sedikit.

Karantina di ruang penangkapan awal tidak manusiawi. Mereka mencampur antara gelandangan psikotik dengan yang lain. Bisa jadi ada anak-anak jalanan yang tertangkap harus berkumpul dengan gelandangan psikotik dan orang dewasa.

Tidak ada yang bisa dilakukan oleh orang jalanan di camp assesment. Menurut penuturan seorang kawan jalanan yang ditangkap, camp assesment mengadakan kegiatan pengajian, seni dari ISI, dari polsek 3 kali dalam seminggu, tetapi isinya sama semua doktrin, sehingga mereka malas mendengarkan. Selain itu tidak ada komunikasi yang baik antara pendamping orang jalanan di camp assesment. Hal itu membuat ketidakpastian terhadap masalah yang mereka hadapi. Bahkan ketika saya berbicara dengan orang jalanan di camp assesment, mereka tidak tahu kesalahan apa yang telah mereka perbuat.

Pekerja yang bekerja di camp assesment juga tidak memiliki kualifikasi yang mumpuni. Mereka tidak memiliki pengetahuan terhadap isu HAM dan orang termarjinalkan. Mereka juga tidak paham sekali jika berhadapan dengan seorang ODHA (Orang Dengan HIV Aids). Satu kasus, seorang kawan ODHA harus berhenti minum ARV karena tidak bisa mengakses obat tersebut. Konfidensial ODHA juga sangat rentan karena pekerja camp assesment tidak tahu mengenai hal ini. Per 8 april ada sekitar 163 orang jalanan dan 70 sekian orang psikotik. Sedangkan pekerja sosial (peksos) atau pendamping hanya ada 12 orang dan bertanggung jawab untuk mengawal minimal 5-20 orang. Bisa dibayangkan bagaimana orang jalanan ditangani disana? Camp assesment memiliki klinik, ada 2 dokter yang siap sedia dibantu dengan pegawai honorer setiap hari. Namun sayang klinik itu tutup pada jam 1 siang.

Apakah kita akan tetap diam sementara orang jalanan mendapatkan kekerasan setiap harinya di camp assesment? Mari kita tolak Perda Penanganan dan Gelandangan No 1 tahun 2014 Yogyakarta.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar